Urang Asa dan Urang Datang dalam Kajian Sejarah dan Adat Minangkabau
Tapi di beberapa daerah, sering muncul perselisihan dikarenakan urang datang yang hendak menjadi urang asa dengan cara ‘kurang baik’, misal mengambil gelar penghulu urang asa kemudian menguasai tanah pusakanya sehingga urang asa terusir dari kampungnya sendiri. Seperti dalam peribahasa: “Dikasih hati, minta jantung.”
Urang asa merupakan orang-orang yang pertama kali datang ikut membentuk suatu nagari. Biasanya keturunan urang asa ini yang dapat menjadi pemangku adat. Yang dimaksud keturunan di sini adalah kemenakan-kemenakan dari pemangku adat awal yang bertali darah, istilahnya “kemenakan di bawah daguak“. Bisa jadi, dalam suku yang sama terjadi pembelahan atau pemekaran sehingga mengangkat penghulu baru (istilahnya ‘gadang manyimpang’). Kemenakan dari suku yang berkembang membentuk penghulu baru tadi disebut dengan istilah “kemenakan di bawah dado“.
Ciri urang asa yang terpenting adalah punya tanah pusaka dan pandam pakuburan.
Urang datang merupakan orang-orang yang datang kemudian setelah nagari terbentuk. Mereka bisa memiliki tanah dan rumah dengan cara membeli. Orang-orang yang datang kemudian ini, ada yang berasal dari suku yang sama (dari nagari lain) kemudian bergabung dengan suku di nagari yang dituju (istilahnya ‘inggok mancakam batang, tabang manumpu dahan’) dengan menganggap mamak kepada penghulu suku yang dituju.
Mereka ini disebut dengan istilah “kemenakan di bawah pusek“. Biasanya, ada upacara penerimaan dari nagari dan suku yang dituju. Walaupun secara perekonomian mereka bisa lebih maju dari ‘kemenakan di bawah daguak’, ‘kemenakan di bawah pusek’ tidak berhak mewarisi gelar penghulu dari suku asa. Kalau mereka hendak memiliki penghulu juga, bisa menggunakan mekanisme ‘mangguntiang siba baju’, membuat gelar penghulu baru, lepas dari penghulu asa.
Ada juga urang datang yang bergabung dengan suatu suku (tapi berasal dari suku dan nagari yang berbeda) karena bertali emas atau uang. Dahulu kala, mereka ini adalah orang datang yang gagal membayar hutang, atau tawanan perang, atau budak yang dibeli oleh suku asa. Mereka ini disebut dengan istilah “kemenakan di bawah lutuik“. Kemenakan ini tidak berhak atas gelar penghulu.
Biasanya, lokasi rumah urang datang ini letaknya di pinggir-pinggir kampung, di ujung-ujung dekat sawah. Karena, tidak mungkin urang datang inggoknya di tengah-tengah kampung.
Suka atau tidak suka ternyata stratifikasi sosial masih berlaku di dunia ini di mana pun kita berada, termasuk di nagari kita, Minangkabau tercinta ini. Betapapun tinggi pendidikan, jabatan, dan kualitas perekonomian seseorang masih belum/tidak bisa mengubah kedudukan kemenakan yang empat tadi.
Nah, sekarang tinggal sikap kita dalam memandang hal ini. Jika memang harus diubah, maka aturan adat istiadat dulu yang harus diubah.
Semoga bermanfaat.